Dark Mode Light Mode

Tiga Belas Perempuan dari Bandung Mengubah Gelisah Menjadi Perlawanan

Seele An

Walaupun Bandung berkembang dengan ekosistem literasi yang semakin ramai, ruang publik tidak selalu memberi ruang aman bagi perempuan. Ada batas-batas yang tidak terlihat, secara geografis, budaya, maupun keluarga, yang memengaruhi seberapa bebas seorang perempuan dapat berbicara, berimajinasi, atau menyampaikan ketidaksetujuan.

Di balik itu, ada kisah yang terlalu lama tidak dibicarakan—kisah tentang tubuh, tentang rasa takut, tentang ketimpangan kuasa yang sudah berlangsung lama. Perempuan berjalan membawa pengalaman mereka, sering tanpa kata, bahkan kadang terkubur bertahun-tahun.

Sampai satu saat, ada yang akhirnya bertanya, “Mau menuliskannya?”

Pertanyaan sederhana inilah yang menjadi awal kelahiran antologi Perempuan yang Menulis Langit dari Bandung, sebuah bentuk perlawanan yang bersifat personal. Antologi cerita pendek karya tiga belas perempuan di bawah Sindikasi Aksara ini muncul dari kegelisahan: kegelisahan yang tak kunjung reda, yang juga sering dianggap tidak penting.

Mereka memulainya dari hal sederhana: percakapan. Kekhawatiran yang kemudian diteruskan dengan menuliskannya. Karena melalui tulisan, mereka bisa mengambil kembali sesuatu yang sudah lama tidak mereka miliki.

“Karena menulis adalah tindakan berontak.”

Foggy FF, produser sekaligus kontributor antologi, mengingat momen ketika proyek ini mulai digerakkan. Ia dan Tiwi Kasavela—sejarawan dan pegiat literasi—mengisyaratkan sebuah kolaborasi biarpun belum tahu akan berbentuk seperti apa; hanya merasa bahwa diam sudah berlangsung terlalu lama. Diperkuat dengan pemahaman bahwa meski komunitas literasi Bandung berkembang, tidak banyak energi yang akhirnya diwujudkan, terutama jika diterjemahkan menjadi buku.

“Mungkin karena sebagai perempuan, sejak awal hidup kita sudah merasakan banyak ketidakadilan,” kata Foggy. “Kegelisahan itu… butuh tempat.”

Tempat itu kemudian menjadi fiksi.

Ketiga belas penulis—Foggy FF, Tiwi Kasavela, Nuzulia Purwanto, Nurlailah, Ranti Amalia Putri, Suci Atmarani, Salma Nur Fauziyah, Ginaya Keisya, Lupita Lestari, Lisa Nurjanah, Kania, Vina Melisk, Ahlan Sukma—berasal dari latar yang berbeda. Ada yang biasa menulis puisi. Ada yang menulis esai. Ada yang bahkan belum pernah mencoba fiksi sebelumnya.

Namun masing-masing membawa cerita yang dipengaruhi oleh konteks gender, kota, dan tuntutan sosial yang serupa.

Seorang perempuan menyampaikan dalam “Mahasiswa Kok Gitu” karya Salma Nur Fauziyah, bahwa satu halaman tulisan bisa lebih kritis daripada diskusi paling ramai di kampus. Dalam “Avatar” karya Lupita Lestari, perempuan lain menghadapi beban pekerjaan dan urusan rumah seperti seseorang yang mengelola situasi rumit yang tidak terlihat orang lain. Ketahanan yang sunyi tampil dalam “Nur” oleh Ahlan Sukma, tentang seorang penyapu jalan yang mendapat kekuatan dari momen kecil, dan dalam “Sasmita” oleh Ginaya Keisya, tentang perempuan yang menulis dirinya keluar dari bayang-bayang yang membatasi.

Kelelahan batin ditunjukkan dalam “Dari Jubah Ini Aku Bicara” oleh Ranti Amalia Putri, dan “Di Balik Tak Berceritanya Laki-Laki” oleh Nurlailah menggambarkan bagaimana diamnya seorang suami dapat menimbulkan luka yang dalam. Mencari kekuatan setelah kehilangan menjadi tema utama “Rumah Tanpa Atap” oleh Nuzulia Purwanto, sementara perjuangan menentukan arah hidup menjadi inti “Luka Kebebasan” oleh Tiwi Kasavela, tentang gadis yang menolak masa depan yang tidak ia pilih.

Malam memperlihatkan realitas lain dalam “Selamat Malam” karya Suci Atmarani, ketika kelelahan menjadi momen paling jujur. Unsur mitos dan memori hadir dalam “Rawallangi, Gadis Penunggang Angin” karya Foggy FF, tentang seorang gadis yang mengejar angin sementara laut menjaga ceritanya.

Dalam “Musim Bahagia” karya Lisa Nurjanah, seorang perempuan mengikuti ingatan tentang ibunya seperti musim yang meninggalkan jejak tertentu, dan “Sayap Cakrawala” karya Kania menggambarkan seorang perempuan yang menciptakan peluangnya sendiri ketika keluarganya tidak mendukung mimpinya. Lalu dalam “Pukul Setengah Tiga Dini Hari” karya Vina Melisk, seorang perempuan meninjau masa lalunya pada waktu yang paling jujur, dan hanya membutuhkan sedikit cahaya untuk kembali pada dirinya.

Tidak salah, kekuatan antologi ini terletak pada keberagaman—pada cara tiap penulis mengangkat ketidaknyamanan dengan sudut pandang sendiri. Isu trauma disampaikan bersama dimensi personal pengalaman, dan setiap cerita memberi ruang bagi keduanya. Realisme dan imajinasi digunakan untuk melihat kembali hubungan kuasa. Tubuh dipahami bukan sebagai objek, tetapi sebagai ruang penyimpanan pengalaman dan pemaknaan.

Setiap cerita memiliki karakter sendiri: ada yang tegas, ada yang tenang. Jika disatukan, mereka membentuk gambaran tentang langit yang ditulis ulang oleh perempuan yang tidak ingin kisah mereka dilupakan.

Pada akhirnya, yang muncul dari ketiga belas cerita ini bukanlah satu suara tunggal, tetapi sebuah konstelasi—perempuan dengan latar yang berbeda, dengan keinginan, keberanian, kesunyian, dan cara bertahan yang beragam.

Tapi memahami perjalanan buku ini, sepertinya tidak lengkap tanpa mengenal Sindikasi Aksara, salah satu kolektif literasi independen yang mendukung perkembangan literasi Bandung. Dibentuk oleh Indra Wardhana, Deni Rahman, Tiwi Kasavela, dan Foggy FF, kolektif ini mempertemukan mereka yang berkegiatan di dunia buku: pendiri perpustakaan gratis, pemilik toko buku, jurnalis, dan penulis yang melihat membaca sebagai kerja budaya.

Berangkat dari lingkungan inilah para perempuan pengisi antologi menemukan keberanian mengubah ketidaknyamanan mereka menjadi cerita. Proses mengajari mereka tentang suara sendiri, tentang cara mereka menulis, tentang diri mereka—dan terutama, tentang kekuatan bekerja bersama dan menghasilkan cerita yang jarang diberi ruang.

Buku ini seperti mencerminkan karakter Sindikasi Aksara: kolaboratif, berbasis kesadaran kolektif, dan berangkat dari keyakinan bahwa sastra bekerja paling baik dalam komunitas. Seperti keinginan mereka, yang membayangkan akan ada lebih banyak ruang—secara fisik maupun simbolis—tempat perempuan dapat berbicara tanpa batasan.

Karena mereka sadar, di situlah perlawanan yang paling awal dan penting: kata yang dituliskan.

Melalui Perempuan yang Menulis Langit dari Bandung—165 halaman, paperback, diterbitkan oleh Langgam Pustaka—para perempuan ini telah menempatkan nama mereka di langit tersebut dengan jelas dan kuat.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *