Ini bukan novel baru, 2016 adalah rentang waktu yang cukup lama, sampai saya sempat membacanya—setelah diprovokasi beberapa kawan. Membaca Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom adalah pengalaman yang jarang terjadi dalam sastra Indonesia mutakhir: menyenangkan tanpa merasa bersalah. Novel ini tidak menunduk pada kaidah sastra baku, tidak sibuk menyisipkan pesan moral yang menggurui, dan tidak tampil seolah-olah ingin menjadi karya “bernilai tinggi”. Tapi justru dari kelonggaran itulah, novel ini menemukan bentuknya yang paling jujur: liar, lucu, sadis, dan sangat hidup.
Sebagai penulis fiksi yang tumbuh dalam ekosistem sastra Indonesia yang (secara tidak langsung) sering menuntut kepatuhan terhadap struktur, teknik, dan moralitas bahasa, membaca Raden Mandasia seperti menarik napas panjang setelah sekian lama menyelam dalam kolam yang sempit. Ada kesegaran, sekaligus semacam ironi yang menyentil. Bagaimana bisa novel yang begitu sembrono secara struktur, bercampur aduk gaya bahasa, penuh kekerasan dan makian ini justru mendapat sambutan hangat, bahkan menyabet penghargaan bergengsi seperti Prosa Terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa 2016? Tak cuma itu, ia juga peraih Prosa Pilihan Majalah Tempo dan Rolling Stone Indonesia.
Jawabannya mungkin sederhana: karena ia jujur, bebas, dan cerdas. Tapi lebih dari itu, Raden Mandasia adalah bentuk perlawanan terhadap apa yang bisa kita sebut sebagai “polisi bahasa” dan “polisi struktur” dalam dunia sastra dan penerbitan Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan bahwa karya sastra—terutama yang ingin dianggap “serius”—harus memenuhi standar tertentu. Bahasa harus bersih. Gaya harus rapi. Struktur harus logis. Tokoh harus berkembang. Tema harus penting. Bahkan sering kali, karya yang terlalu populer atau terlalu bebas gaya dianggap kurang “berbobot”. Di sinilah muncul tantangan besar bagi penulis fiksi Indonesia yang ingin bereksperimen, bermain-main, atau menulis dengan suara yang lebih otentik.
Mas Yusi Avianto Pareanom, mencipta semesta Sungu Lembu dan Raden Mandasia, dengan menertawakan semua itu. Ia mencampur bahasa Jawa dan Indonesia baku tanpa rasa bersalah. Ia menyisipkan kritik sosial dan politik dengan cara yang tidak didaktik. Ia menulis tokoh-tokoh yang tidak bisa dikotakkan ke dalam peran klasik pahlawan-penjahat. Dan semua itu tidak disajikan dalam gaya tinggi yang kaku, melainkan dalam bahasa sehari-hari yang kasar, lincah, dan penuh humor.
Sebagian besar penulis Indonesia, mungkin tidak punya keberanian seperti itu. Bukan karena tidak bisa, tapi karena takut disalahkan. Takut disebut ceroboh. Takut dianggap tidak tahu aturan. Takut dijegal oleh editor, penerbit, atau pembaca yang menjadi polisi bahasa tak resmi. Dan memang, kita hidup di negeri yang sangat mencintai aturan bahasa—tapi sering lupa pada fungsinya: sebagai medium ekspresi, bukan alat represi.
Kebebasan menulis seperti yang dilakukan Mas Yusi bukan berarti sembarangan. Justru sebaliknya. Kebebasan itu lahir dari penguasaan teknik yang cukup matang untuk dilanggar dengan sengaja. Sama seperti musisi jazz yang tahu semua kunci dasar, tapi memilih untuk improvisasi. Dalam kisah Raden Mandasia ini, kelonggaran strukturalnya bukan kekurangan, tapi strategi. Gaya bicaranya yang seenaknya bukan kelalaian, tapi justru kekuatan naratif.
Rasanya, ini menjadi pelajaran penting buat saya sebagai penulis fiksi. Bahwa menulis tidak selalu harus tunduk pada kerangka baku. Bahwa kadang, untuk bisa didengar, kita perlu keluar dari jalur yang dianggap aman. Dan bahwa keberanian untuk menulis dengan gaya yang personal dan tak biasa bukan hanya mungkin dilakukan, tapi bisa diapresiasi secara luas. Bahkan, bisa memenangkan penghargaan.
Tentu saja, ini bukan ajakan untuk menulis seenaknya tanpa berpikir. Tapi ajakan untuk mempertanyakan: siapa yang sebenarnya menentukan “aturan” dalam menulis? Editor? Penerbit? Kritikus sastra? Pembaca Goodreads? Atau justru kita sendiri yang terlalu patuh pada bayangan tentang “apa itu karya sastra yang baik”?
Tantangan kreatif penulis Indonesia hari ini bukan semata-mata kurangnya ide atau kemampuan teknis. Tapi lebih pada tekanan untuk menulis sesuai ekspektasi pasar atau komunitas sastra yang dominan. Kita diajarkan bahwa karya yang layak adalah yang bisa dipresentasikan di forum sastra, dibaca dengan suara lirih dan nada dalam, lalu diberi aplaus oleh hadirin yang mengernyitkan dahi. Jarang sekali kita diberi ruang untuk bermain, bersenang-senang, atau sekadar menulis sesuatu yang liar dan menyenangkan tanpa harus meminta maaf.
Karena itu, buat saya novel Raden Mandasia ini adalah pengingat penting. Bahwa menulis bisa—dan seharusnya—membebaskan. Bahwa karya yang tidak rapi bukan berarti tidak bernilai. Bahwa keberanian untuk menyimpang bukan tanda ketidakmampuan, tapi justru kekuatan kreatif. Dan bahwa di luar sana, pembaca tidak selalu mencari karya yang sempurna—tapi karya yang hidup, yang berani, dan yang jujur.
Akhirnya, ironi itu pun menjadi kenyataan yang menyenangkan: novel yang menolak tunduk pada aturan sastra justru dipuji oleh institusi sastra itu sendiri. Mungkin, inilah yang menggelitik pikiran saya sejak menamatkan novel ini, kalau “polisi bahasa” bisa saja keliru, mengapa kita masih takut pada mereka?
Sebagai penulis fiksi, saya tidak ingin lagi menulis dengan rasa takut. Saya ingin menulis dengan semangat seperti Mas Yusi: bermain, bereksperimen, dan membebaskan diri dari beban untuk selalu benar. Karena toh, seperti yang dibuktikan oleh Raden Mandasia, kadang justru dari kebebasan itulah lahir karya yang paling mengena—bukan hanya bagi pembaca, tapi juga sejarah sastra itu sendiri.
Dipublikasikan pertama kali di Medium Foggy FF.