Membaca Ramayana maupun Mahabharata, sejatinya adalah membaca manusia. Dari negara asalnya, India, epos-epos ini menjelajah ke penjuru dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara dan juga Indonesia. Di berbagai kawasan epos itu kemudian disesuaikan dengan kearifan lokal. Misalkan kisah Ramayana di Bali dan Jawa memiliki sedikit perbedaan. Namun dari ragam versi itu, dalam cerita perempuan selalu ditempatkan di belakang—konco wingking, dan seolah tak memiliki peranan besar dalam garis cerita.
Dalam khazanah sastra Indonesia, telah banyak sastrawan yang menginterpretasikan ulang bagian atau potongan baik dari epos Ramayana. Misalnya novel Anak Bajang Menggiring Angin (1983) Sindhunata, yang mengambil sudut penceritaan dari sisi Anoman. Atau Kitab Omong Kosong (2004) milik Seno Gumira Ajidarma yang mengupas Sinta selepas upacara obong dan hidup di pengasingan bersama dua anak kembarnya serta Empu Walmiki.
Cok Sawitri menghadirkan karya baru berupa tafsir dan penceritaan ulang atas kisah Rama, Sita, dan Rawana dalam tajuk Sitayana (2019).

Judul Sitayana
Penulis Cok Sawitri
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Novel/Sastra
Edisi Pertama, Juni 2019
Tebal 359 halaman
Sita adalah simbol luka dan perlawanan perempuan. Sita dipertemukan dengan Rama bukan oleh Tuhan, melainkan sayembara pernikahan. Siapa saja—terutama dari kalangan bangsawan dan ksatria, yang bisa mengangkat gandiwa berhak memiliki Sita. Semua pembesar baik raja maupun putra makhota berebut menjajal digdaya. Namun hanya satu yang berhasil, Rama. Sita berakhir sebagai hak milik Rama.
Rawana yakin Sita adalah titisan Banowati, dewi yang dia cintai namun memilih menceburkan diri ke dalam api ketimbang dipersunting Rawana. Raja yang kasar dan mampu menggegerkan bumi langit.
Cok Sawitri sebagai dalang dalam lakon Sitayana menempatkan garis demarkasi yang membedakan cinta Rama dengan Rawana terhadap Sita. Bila kebanyakan Rama diposisikan sebagai lelananging jagat, pahlawan, dan kekasih idaman. Rama dalam lakon ini tampil sebagai lelaki pengecut, penakut, dan berlindung di bawah ketiak bernama ‘kebenaran norma pada umumnya.’
Sebaliknya, Rawana tampil sungguh-sungguh mengasihi Sita, hanya sedikit terlambat sehingga tampak seolah Rawana merebut Sita dari Rama. Namun, berkali-kali Rawana mengutarakan bahwa cintanya kepada Sita jauh lebih tulus dan suci dibandingkan cinta Rama kepada Sita.
Cinta yang kupilih adalah cinta yang tak terbalas. Tak ada yang paham akan hal ini. Semua mengira ini urusan cinta semata, tetapi aku adalah Dasamuka, yang mengubah takdir kematianku, yang mengubah kuasa surga dan membuat para dewa kehilangan sombongnya. Namun, aku hampir ratusan tahun tak bisa mengubah takdir asmara. (hal.84)
Perubahan sikap sangat kentara tatkala Rawana menjadi sangat peduli pada rakyat dan Alengka. Dilukiskan dengan apik, bahwa setelah menculik Sita, Rawana membuatkannya sebuah taman indah, Rawana kembali sering mengunjungi rakyat, dan semakin peduli pada urusan negara.
Rama yang mendapatkan hadiah berupa Sita, justru membuatnya harus turut diasingkan, kemudian terlunta-lunta dan terbuai-mabuk oleh kehidupan asmara. Dengan hasutan orang di sekitarnya, Rama justru meragukan kesucian Sita dan meminta Sita melakukan upacara obong. Maka tidak aneh bila kemudian Sita justru menaruh hormat dan ketakjuban kepada Rawana.
Di mana pun engkau, Rawana berada, terima kasih. Dengan caramu membuatku belajar memahami apa yang yang seharusnya kujalani sebagai perempuan. (hal.100)
Puncak dari ketidakterimaan Sita adalah ketika Sita mendeklarasikan kemandirian atas dirinya, anak kembarnya Kusa dan Lawa, meminta Rama tak usah mengusik atau mencoba membantu. Sita dan kedua anaknya terbebas dari Rama. Perempuan itu kini merdeka meski luka dan lebam di dadanya tak beranjak. “Jadilah anak ibu, bukan anak siapa pun, selain anak ibu.”(hal.130) Sita menegaskan Kusa dan Lawa anaknya, bukan anak Rama.
Kavita A Sharma dalam Queens of Mahabharata (2006) menyebut banyak sekali perempuan yang dikesampingkan dalam cerita, namun sejatinya adalah penggerak cerita atau awal sebuah perang besar dalam sebuah epos. Keberpihakan hanya kepada sosok-sosok hero berjenis kelamin laki-laki tidak lain pengaruh patriarki yang mengakar dalam benak masyarakat, baik di India maupun Indonesia. Sosok bahwa pahlawan dan yang mengambil peran penting selalu laki-laki.
Dalam mitologi India, istri adalah shakti bagi suami. Istri adalah daya kekuatan bagi kesuksesan seorang suami. Rama dalam hal ini membutuhkan Sita untuk sebuah kedigdayaan. Dalam bahasa Cok Sawitri, dalam tradisi sayembara, maka pihakmu (Sita) yang mengawini Rama. (hal.164) Tak terampuni bilamana Rama yang justru menyia-nyiakan sumber digdaya itu.
Melalui lakon Sitayana, Cok Sawitri menegaskan apa yang diyakini Sharma. Berada dalam bayang-bayang patriaki, seorang perempuan harus mampu menyampaikan suara baik dalam hal urusan asmara, keluarga, maupun masa depan anak-anaknya. Bukan karena perempuan tidak punya suara, hanya suaranya kerap tertutup dominasi parau laki-laki.
Sita dalam rekaan Cok Sawitri adalah perempuan yang kemudian menyadari kebebasan untuk menentukan sikap. Termasuk di suatu titik dengan tegas menolak undangan Rama saat Kusa dan Lawa anak kembar mereka. Penolakan ini adalah gambaran jelas bagaimana Sita ingin bebas dari jerat patriaki Rama.
Dalam novel ini Cok Sawitri jelas melakukan dekonstruksi atas kisah Ramayada terutama Rama-Sita dengan cukup besar. Sebuah usaha untuk memberi tafsir baru atas kisah Rama-Sita. Sita menampik Rama dan kemudian digambarkan dengan halus bahwa Sita sadar sejatinya yang mencintainya dengan tulus adalah Rawana.
“Apakah kini engkau masih mencintaiku?” tanya Sita kepada Rawana.
“Apakah cinta mengenal kata masih? Ia tak pernah bersifat sementara dan juga tidak seperti musim. Hanya yang tertipu birahi yang mengira cinta dapat datang dan pergi dari hatinya, lalu seolah setia disebabkan ikatan yang ditindas oleh norma dan etika.” (hal.280)
Akhir novel ini seperti kembali putar balik ke garis awal. Semua usaha dan sikap keras Sita nyatanya harus kembali dicengkeram Rama. Dunia masih ditutupi bayang-bayang patriaki. Sekeras apa pun suara perempuan pada ujungnya suara lelaki masih saja mendapatkan tempat utama. Sampai novel ini tamat, kisah Sita selalu terjungkang dengan tatu batin, sebab Sita adalah luka itu sendiri.
(Dipublikasikan pertama kali di Koran Tempo, 14-15 September 2019)