Dark Mode Light Mode

Kota dalam Perjalanan Sastra

Romain Malaunay

Buku 50 Tahun Sastra Banjarbaru ini menarik karena—mumpung usianya masih muda—segera membuat catatan perjalanan kebudayaan dari sisi sastra yang menanggung dua peran: saksi sekaligus pelaku. Ditulis oleh tiga sastrawan yang juga berjenjang secara usia: Ariffin Noor Habsy, All Syamsudin Arsi, dan Hudan Nur; buku ini menjadi referensi berharga bagi para sastrawan dan peneliti yang membutuhkan.

Kebetulan pula, Wali Kota Banjarbaru, Nadjmi Adhani, memiliki minat tinggi terhadap literasi, sehingga kelahiran buku ini sangat didukung. Menurut catatan Hudan Nur, Banjarbaru merupakan kawasan migrasi orang-orang yang membuat terjadinya persimpangan budaya secara egaliter. Banjarbaru awalnya perkampungan sepi dengan sedikit penghuni, dalam kelompok-kelompok, bekerja mendulang intan. Area yang mengandung batu permata itu antara lain Desa Pumpung Cempaka, Kampung Karamunting, dan Kampung Guntung Lua (radius 2 kilometer sepanjang Sungai Kemuning).

Sebagaimana kota-kota yang jauh lebih tua, Banjarbaru didirikan oleh warga Belanda. Dirk Andries William Van Der Pelji yang lahir di Brakel, Gelderland Belanda, 23 Januari 1901, dialah founding father Banjarbaru. Mulanya, tahun 1947, la diperbantukan sebagai arsitek di Balikpapan. Ketika Kalimantan bergabung dengan NKRI pada 17 Mel 1949, Van Der Pelj sudah memiliki status warga negara Indonesia. Berkat wacana Gubernur Kalimantan Dr. Murdjani (1951) hendak memindahkan ibu kota Kalimantan, Van Der Peijl mendapatkan jalan mulus untuk merealisasikan membangun sebuah kota.

Judul 50 Tahun Sastra Banjarbaru

Penulis All Syamsudin Arsi, Arifin Noor Hasby, Hudan Nur
Penerbit Zulzez Express, Banjarbaru

Genre Sejarah
Edisi Pertama, November 2019
Tebal 348 halaman 

Sangat menarik, karena sebuah kota dikembangkan seiring kebudayaan, khususnya seni sastra dan teater. Infrastruktur dan fasilitas umum yang diselenggarakan dengan konsep planologi kota masa depan, di tahun 1960, dilanjutkan dengan pertumbuhan komunitas teater tiga tahun berikutnya. Bahkan, tahun, 1964, berdiri Arena Studi Teater Artis (ASTA) yang dipimpin Eza Thabry Husano (sebagai Ketua Drama). Tersebutlah dalam buku ini para perintis yang mengharumkan ASTA di masanya, yakni: Hamami Adeby, A. Manap Chandra, Hidayat, RA Benawa, M. Hasflany Sahasby, A. Muls.

Catatan sejarah dalam buku ini disusun berdasarkan periodisasi dekade, per sepuluh tahun. Dimulai dengan episode 1960-an, ketika hampir setiap daerah di Kalimantan Selatan ramal menerbitkan majalah stensilen, sampal tahun 2010-an ketika pengaruh teknologi digital, Jejaring sosial, dan kaum milenial sestra juga semakin ramal. Tentu di antara kurun waktu itu, pernah ada masa ketika radio berjalan (ikut menyiarkan suara sastra), lalu menjemur kegiatan yang berbasis komunitas sastre. Paruh kedua tahun 90-an, dunia memasuki zaman internet, yang mengubah pula budaya menulis. Setidaknya peranti komputer memudahkan, ada jaringan komunikasi nirkabel yang serta-merta membuka wawasan pelaku sastra pada karya-karya kelas dunia.

Saat sastrawan sedang gemar berkomunitas, mereka pun mulal menyelenggarakan festival sastra yang memungkinkan bertemunya sastrawan dari satu dan kota lainnya. Terjadi lintas karya, silaturahmi sastrawan, dan perluasan-perluasan cakrawala pemikiran, seiring dengan dim globalisasi yang mau tidak mau menyertakan kegiatan seni budaya.

Sastra Banjarbaru yang awalnya sangat dekat dengan aksi pertunjukan teater, memberikan peluang luas untuk berkembang. Mingguraya, sebuah pusat “tongkrongan” sastrawan (yang kemudian di sana dibentuk Akademi Bangku Panjang), menjadi tempat yang “membaptis” seorang penyair dengan cara yang khas.

Sebuah buku akan bermakna bila dibaca dan memberikan tambahan pengetahuan mengenal sesuatu—dalam hal ini: sejarah pertumbuhan sastra di Banjarbaru. Ikhtiar semacam Ini mungkin sudah dilakukan para penulis di kota-kota lain dalam mendokumentasikan salah satu sisi sejarah, atau kini saatnya mengikuti jejak positif yang telah dilakukan All Syamsudin Arsi dan kawan-kawan. Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, Kabupaten Tulang Bawang Barat di Provinsi Lampung melakukan upaya yang mirip ini. Ketika daerah itu memisahkan diri dari Kabupaten Tulang Bawang, dan resmi menjadi pemerintah daerah tingkat dua, sang Bupati mengundang 9 sastrawan untuk menggali khazanah literasi dari kote yang hampir tidak memiliki potens kecuali sebagai daerah perlintasan antarprovinsi.

Kapan kota Anda akan membuat bunga rampal sejarah sastranya masing-masing?

Buku, selain merupakan jendela dunia (seperti kata Nehru), juga saksi yang menyimpan sejarah untuk dibuka di segala waktu. Dan sastra adalah sebaik-baik teks yang mengabadikan masa lalu.

(Dipublikasikan pertama kali di MAJAS, Majalah Sastra & Gaya Hidup, Edisi 6 Vol 2, Februari-April 2020)

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *