Dark Mode Light Mode

Di Antara Dua Kopi dan Jeda yang Memanjang

Olly Hoodyakova

“Kami tak saling bertanya, hanya saling mengangguk. Mungkin itu yang membuat kami bisa bertahan selama itu.”

Aku mengenalnya lewat pertemanan lama yang tak sengaja menyatukan kami kembali. Bukan pertemuan dramatis di bandara atau kafe senyap sore hari. Hanya perbincangan ringan di WhatsApp grup yang berlanjut ke percakapan pribadi. Ia pernah bercerai, begitu pula aku. Sama-sama membawa satu anak. Sama-sama bilang tak mencari siapa-siapa, hanya diam-diam menunggu ada yang cukup sabar untuk menunggu luka ini sembuh.

Kami bertemu untuk pertama kalinya di sebuah taman kecil di dekat rumahnya. Ia datang membawa dua gelas Americano, satu panas, satu dingin, yang dibeli dari outlet McCafe di ujung jalan. Duduk di bangku semen yang warnanya mulai pudar. Tak ada basa-basi soal masa lalu, hanya percakapan yang tenang tentang bagaimana hidup berjalan setelah badai.

“Aku gak janji bakal jadi orang yang benar,” katanya waktu itu, menatap ke depan, bukan padaku. “Tapi aku gak akan kabur kalau kamu tiba-tiba jatuh.”

Aku hanya tersenyum. Entah mengapa kalimat itu cukup. Aku pun tak sedang mencari seseorang yang sempurna. Aku hanya ingin seseorang yang tahu bahwa aku sudah lelah bertarung sendirian.

Sejak hari itu, kami mulai berjalan berdampingan. Tanpa label apa-apa, tanpa definisi yang terburu-buru. Kami mengantar anak masing-masing sekolah, saling titip makanan kalau sedang sibuk, sesekali pergi liburan bersama kalau tanggalnya cocok. Perlahan, aku merasa … mungkin ini bisa berhasil.

Segalanya tak pernah benar-benar baik. Tapi kami terus bilang pada diri sendiri: ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tahun pertama berjalan seperti sisa musim hujan yang masih menyisakan genangan tapi langitnya mulai cerah. Kami bukan pasangan romantis yang suka memberi kejutan atau menuliskan kata-kata manis di sticky note. Kami hanya dua orang yang sudah terlalu lelah dengan drama, dan ingin hidup mengalir saja.

Anakku memanggilnya dengan panggilan netral: Om. Anaknya memanggilku Tante. Kadang-kadang, kalau sedang lengah, mereka menyebut kami dengan nama saja. Lucu, canggung, tapi jujur. Kami tidak buru-buru menyatukan apa pun, hanya mencoba merawat kebersamaan tanpa memaksa.

Kami punya rutinitas-rutinitas kecil yang lama-lama terasa hangat: berbagi belanja mingguan, menemani anak belajar, bertukar playlist Spotify di malam Minggu. Hal-hal sederhana yang membuatku berpikir, mungkin inilah bentuk cinta yang sehat.

Liburan pertama kami ke luar kota terjadi setahun setelah bersama. Dua anak tertidur di kursi belakang, dan kami menyetir bergantian, berbagi cemilan, sambil sesekali membahas masa depan. Ia berkata ingin pindah rumah suatu hari nanti, agar kami bisa memulai sesuatu dari nol. Aku tak menjawab waktu itu. Hanya memandang jendela yang berkabut dan mengangguk kecil.

Tapi seiring waktu, ada hal-hal yang pelan-pelan muncul. Ia tak suka kalau aku masih membalas chat dari ayah anakku, meski itu hanya soal jadwal jemput. Aku mulai merasa kesal kalau dia pergi terlalu malam setelah bertemu mantan istrinya, meski itu demi urusan sekolah anak.

Kami tidak bertengkar. Kami menyimpan. Menumpuk. Lalu membungkusnya dalam diam. Dan seperti lemari yang terlalu lama tak dibuka, lama-lama sesak sendiri.

Namun di sela-sela itu semua, kami tetap berusaha. Menyusun rencana untuk tahun depan, membayangkan les renang anak-anak, bahkan sempat mencicil tabungan bersama. Kami benar-benar berniat baik. Tapi entah kenapa, perasaan itu, seperti berdiri di atas pasir basah. Semakin kami berdiri tegak, semakin kami tenggelam pelan-pelan.

Entah sejak kapan, tapi obrolan kami mulai penuh jeda. Tak ada yang berubah secara besar. Kami masih mengantar anak sekolah, masih makan malam bersama setiap akhir pekan, masih menyimpan sikat gigi masing-masing di rumah satu sama lain. Tapi ada sesuatu yang tak lagi utuh. Seperti kain yang mulai mengelupas di ujung, sedikit demi sedikit, nyaris tak terlihat, sampai akhirnya kami sadar: lubangnya sudah sebesar telapak tangan.

Ia menjadi lebih sensitif. Aku menjadi lebih curiga. Hal-hal kecil jadi pemicu. Balasan pesan yang lama, tatapan kosong saat makan malam, suara yang meninggi padahal hanya ingin mengoreksi. Kami saling menuduh, kadang hanya lewat nada, bukan kata. Lalu sama-sama marah karena merasa tak dipercaya.

Ada malam-malam ketika kami tidur di ranjang yang sama, tapi punggung kami saling membelakangi. Tak ada pelukan. Tak ada selamat malam. Hanya kelelahan yang menggumpal di dada masing-masing.

“Aku capek,” katanya suatu malam.
“Capek apa?” tanyaku.
“Capek harus kuat terus. Capek gak boleh salah. Capek gak boleh takut.”

Aku tak menjawab. Karena aku juga merasakan hal yang sama, tapi kalau kami berdua sedang lelah, siapa yang akan menenangkan siapa?

Saling lelah. Saling diam. Saling menunggu untuk dipahami duluan.

Lalu datang masa ketika aku mulai menghitung jumlah pertanyaan yang tak bisa kujawab. Kenapa dia berubah? Kenapa aku tidak cukup membuatnya tenang? Kenapa aku merasa kesepian padahal kami masih bersama? Dan dia, barangkali, sibuk dengan pertanyaan yang sama di kepalanya.

Kami pernah duduk diam satu jam di mobil, hanya karena aku salah menyebut nama mantan istrinya di tengah cerita. Padahal itu hanya bagian dari obrolan tentang sekolah anak. Tapi aku melihat matanya meredup. Seperti lampu yang tiba-tiba dipadamkan dari dalam.

Di titik itu, aku tahu, kami sedang membawa terlalu banyak. Luka yang belum sembuh. Harapan yang terlalu tinggi. Ketakutan yang menyamar jadi marah. Kami saling menyerahkan beban itu satu sama lain, berharap yang lain sanggup menanggung.

Ternyata tidak semua yang kita tahan akan sembuh. Beberapa hanya menunggu waktu untuk pecah.

Hari itu, kami hanya sedang membicarakan soal giliran antar anak ke sekolah. Sesuatu yang seharusnya sederhana. Tapi nadanya tiba-tiba naik. Kataku terlalu tajam, katanya terlalu menyudutkan. Lalu entah kenapa, semuanya meledak.

“Aku tuh capek harus selalu ngerti kamu,” ucapnya.
“Aku juga capek nahan semua ini sendirian,” jawabku.
“Lagian dari dulu kamu gak pernah benar-benar terbuka.”
“Karena setiap kali aku buka, kamu pakai buat nyerang.”

Dan begitu saja, kami membuka pintu yang selama ini kami jaga rapat. Semua unek-unek yang selama ini disimpan, semua kekesalan yang diredam, keluar bersamaan. Tak terkendali. Tak tertata. Seperti hujan deras setelah kemarau panjang. Bukan menyegarkan, tapi menenggelamkan.

Aku menangis. Bagaimana bisa kita sampai di titik ini?

Ia duduk diam, wajahnya kosong. Lalu berkata pelan, “Kita ini dua orang yang sama-sama belum selesai. Tapi terlalu memaksa jadi rumah buat satu sama lain.”

Kata-kata itu menamparku lebih keras daripada teriakan. Karena dia benar. Kami ingin terlalu banyak dari satu sama lain, padahal kami sama-sama sedang belajar berjalan lagi setelah remuk.

Kami tidak putus malam itu. Tapi sejak hari itu, kami berhenti saling mencari.

Komunikasi kami menjadi fungsional. Hanya soal anak, hanya yang penting. Tak ada lagi obrolan tentang masa depan, tak ada tanya kabar tanpa alasan. Dalam diam itu, kami tahu, ini sedang menuju akhir.

Bukan karena saling benci, tapi karena kami sudah terlalu lelah untuk terus berharap.

Akhirnya datang juga. Hari di mana kami duduk berhadapan, tanpa ingin menang. Hari di mana kami hanya diam cukup lama untuk tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Tanpa ingin membuktikan siapa yang lebih sakit atau siapa yang lebih bertahan.

“Kalau kita terusin, yang tersisa dari kita cuma capek,” katanya.

Aku mengangguk. Bahkan tak bisa bilang iya. Karena aku juga tahu, ini bukan tentang siapa salah siapa benar, tapi tentang cinta kadang kalah oleh kenyataan.

Kami tidak saling memblokir. Tidak ada adegan membanting pintu, tidak ada barang dikembalikan. Tak juga menghapus foto, atau menghapus kenangan. Hanya perpisahan yang, pelan.

Sejak itu, kami kembali ke orbit masing-masing, seperti satelit yang terlalu lama mencoba bertabrakan, lalu sadar bahwa jarak kadang lebih aman.

Lucunya, aku tak marah. Aku sedih, tentu. Ini seperti kesedihan yang tenang, seperti ketika kamu melihat rumah masa kecilmu dirobohkan. Kamu tahu itu pernah jadi tempatmu berteduh, tapi sekarang tidak lagi.

Dan aku belajar pelan-pelan untuk tidak menyalahkan siapa pun. Karena kami berdua pernah mencoba. Pernah berniat baik. Tapi terkadang, niat baik saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang rumah.

Beberapa bulan sudah berlalu sejak terakhir kami saling menyapa tanpa alasan. Sekarang, kalau ada pesan masuk darinya, aku tahu pasti itu soal anak. Ringkas. Sopan. Fungsional. Tapi aku masih ingat caranya tertawa saat menirukan suara anaknya yang cerewet. Masih ingat wajahnya saat diam-diam membelikan boneka untuk anakku karena ulang tahunnya hampir lupa dirayakan. Masih ingat semuanya.

Dan itu tidak apa-apa.

Karena kami pernah mencoba benar-benar saling menjaga. Karena meski hasilnya tidak seperti yang kami bayangkan, perjalanan kami bukan kebohongan. Kami pernah berjalan berdampingan. Pernah mengupayakan cinta yang pelan dan dewasa.

Malam ini, aku duduk sendiri di ruang tamu. Di meja ada dua cangkir kopi—kebiasaan yang belum bisa hilang. Satu untukku. Satu untuk kenangan.

Beberapa cinta tidak untuk dimenangkan. Beberapa hanya untuk dikenang. Dengan tenang. Dengan utuh.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *